AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
oleh :
Kholil Abou Fateh
Kholil Abou Fateh
Untuk memahami tema ini sebagaimana mestinya, harus diketahui terlebih
dahulu bahwa di dalam Al Qur'an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat
mutasyabihat. Allah ta'ala berfirman :
] هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ
مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَـأَمَّا الَّذِيْنَ
فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِـغَاءَ
الْفِـتْنَةِ وَابْتِـغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ
اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ
عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوْا اْلأَلْبَابِ [ (ءال
عمران : 7)
Maknanya : "Dia-lah yang
menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara (isi)nya ada
ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan
pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat.
Adapun orang-orang yang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai
dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya (seperti saat
tibanya kiamat) melainkan Allah serta
orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : "kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat
mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal" (Q.S. Al Imran : 7)
a. Ayat-ayat
Muhkamat : ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak
memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas
makna dan maksudnya. Seperti firman Allah :
﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ﴾ (سورة الشورى: ۱۱)
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari
satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang
menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura:
11)
﴿ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴾ (سورة
الإخلاص :4)
Maknanya: “Dia (Allah) tidak ada satupun yang menyekutui-Nya”. (Q.S. al Ikhlash : 4)
﴿ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا ﴾ (سورة مريم
:65)
Maknanya: “Allah tidak ada serupa bagi-Nya”. (Q.S. Maryam :
65)
b. Ayat-ayat
Mutasyabihat : ayat yang belum jelas
maknanya. Atau yang memiliki banyak kemungkinan makna dan pemahaman sehingga
perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan
ayat-ayat muhkamat. Seperti firman Allah :
﴿ الرّحْمٰنُ عَلَى العَرْشِ
اسْتَوَى ﴾ (سورة طه :5)
﴿ إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّـيِّبُ
وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ﴾
(سورة فاطر :10)
Makna ayat kedua ini adalah bahwa dzikir seperti ucapan لا إله إلاّ الله akan naik ke tempat yang dimuliakan oleh Allah, yaitu langit. Dzikir ini
juga akan mengangkat amal saleh. Pemaknaan seperti ini sesuai dan selaras dengan
ayat muhkamat ﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ﴾ (سورة الشورى: ۱۱) .
Jadi penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat muhkamat. Ini jika memang berkait dengan ayat-ayat mutasyabihat yang mungkin diketahui
oleh para ulama. Sedangkan mutasyabih (hal yang tidak diketahui
oleh kita) yang dimaksud dalam ayat
﴿ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ ﴾
(سورة ءال عمران : 7)
Menurut bacaan waqaf pada lafzh al Jalalah الله adalah seperti saat kiamat tiba, waktu pasti
munculnya Dajjal, dan bukan mutasyabih yang seperti ayat tentang istiwa') Q.S. Thaha : 5). Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda
:
"
اعْمَلُوْا بِمُحْكَمِهِ وَءَامِنُوْا بِمُتَشَابِهِهِ" (حديث ضعيف ضعفا خفيفا)
Maknanya: “Amalkanlah ayat-ayat muhkamat yang ada dalam Al Qur'an dan berimanlah terhadap yang mutasyabihat dalam Al Qur'an". Artinya jangan mengingkari adanya ayat-ayat mutasyabihat ini melainkan
percayai adanya dan kembalikan maknanya kepada ayat-ayat yang muhkamat. Hadits
ini dla'if dengan kedla'ifan yang ringan.
Seorang ahli hadits,
pakar bahasa dan fiqh bermadzhab Hanafi, Murtadla az-Zabidi dalam syarh Ihya'
'Ulum ad-Din yang berjudul Ithaf
as-Sadah al Muttaqin
mengutip perkataan Abu Nashr al Qusyairi dalam kitab at-Tadzkirah asy-Syarqiyyah :
"Sedang firman Allah : ﴿ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ ﴾
(سورة ءال عمران : 7) yang dimaksud adalah waktu tepatnya kiamat
tiba, sebab orang-orang musyrik bertanya kepada Nabi shallallahu 'alayhi wasallam tentang
kiamat kapan tiba. Jadi mutasyabih
dalam konteks ini mengisyaratkan pada
pengetahuan tentang hal-hal yang gaib karena memang tidak ada yang mengetahui
peristiwa di masa mendatang dan akhir
semua hal kecuali Allah. Karenanya Allah berfirman: ﴿ هَلْ يَنْظُرُوْنَ إِلاَّ تَأْوِيْلَهُ
يَوْم
يَـأْتِي تَأْوِيْلُهُ ﴾ (الأعراف: 53)
maksudnya mereka tidak menunggu kecuali datangnya
kiamat.
Dengan demikian,
bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan (berdalih ayat tersebut) bahwa
terdapat dalam kitabullah hal yang tidak ada jalan bagi seorang makhlukpun untuk
mengetahuinya serta tidak ada yang mengetahui hal ini kecuali Allah. Bukankah
ini termasuk penghinaan terbesar terhadap misi-misi kenabian ?!. Bahwa Nabi
tidak mengetahui takwil sifat-sifat Allah yang ada lalu mengajak orang untuk
mengetahui hal yang tidak bisa diketahui ?!, bukankah Allah berfirman (tentang
al Qur'an) :
﴿ بِلِسَانٍ عَرَبِـيٍّ مُبِيْنٍ ﴾ (سورة الشعراء
: 195)
Maknanya : "Dengan bahasa Arab
yang jelas" (Q.S. asy-Syu'ara' :
195)
Berarti kalau menurut logika pendapat mereka ini maka mereka mesti
mengatakan bahwa Allah telah berdusta karena mengatakan ﴿ بِلِسَانٍ عَرَبِـيٍّ مُبِيْنٍ
﴾ sebab mereka ternyata tidak memahaminya. Jika
tidak, lalu di mana letak kebenaran penjelasan ini ?!. Dan jika memang al Qur'an
ini berbahasa Arab lalu bagaimana bisa seseorang mengatakan bahwa di dalamnya
ada yang tidak diketahui oleh orang Arab padahal al Qur'an berbahasa Arab. Jika
demikian halnya apa sebutan yang patut
untuk pendapat yang berujung pada pendustaan terhadap Allah ini !?".
Az-Zabidi selanjutnya
mengatakan masih menukil dari al Qusyairi : "Bukankah ada pendapat yang
mengatakan bahwa bacaan ayat (tentang takwil) tersebut adalah [ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ
وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ ], seakan Allah menyatakan "orang yang mendalam ilmunya juga mengetahui
takwilnya serta beriman kepadanya" karena beriman kepada sesuatu itu hanya dapat
terwujud setelah mengetahui sesuatu itu, sedang sesuatu yang tidak diketahui
tidak akan mungkin seseorang beriman kepadanya. Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan
: "Saya termasuk orang-orang yang mendalam
ilmunya".
ADA DUA METODE UNTUK
MEMAKNAI AYAT-AYAT MUTASYABIHAT YANG KEDUANYA SAMA-SAMA BENAR
:
Pertama : Metode Salaf. Mereka adalah orng-orang yang
hidup pada tiga abad hijriyah pertama. Yakni kebanyakan dari mereka
mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara
global (takwil ijmali), yaitu dengan mengimaninya serta
meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan
dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah
tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat
mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti firman Allah :
﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ﴾ (سورة الشورى: ۱۱)
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari
satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang
menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura:
11)
Takwil ijmali ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi'i –semoga Allah meridlainya- :
" ءَامَنْتُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ r عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ
"
"Aku beriman
dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah dan
beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah r
sesuai dengan maksud Rasulullah", yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak
manusia yang merupakan sifat-sifat fisik dan benda (makhluk) yang tentunya
mustahil bagi Allah.
Selanjutnya, penafian
bahwa ulama salaf mentakwil secara terperinci (takwil tafshili) seperti yang diduga
oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti bahwa dalam Shahih al Bukhari, kitab tafsir al
Qur'an tertulis :
" سُوْرَةُ الْقَصَصِ ، كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ ، إِلاَّ مُلْكَهُ وَيُقَالَ مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَيْهِ "
اهـ.
"Surat al Qashash, كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ (Q.S. al
Qashash : 88) yakni kecuali kekuasaan dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya
atau amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya". Kekuasaan Allah adalah sifat Allah yang azali (tidak memiliki
permulaan) , tidak seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada makhluk-Nya.
Dalam Shahih al Bukhari juga masih terdapat
takwil semacam ini di bagian yang lain seperti dlahik yang terdapat dalam hadits ditakwilkan dengan
rahmat-Nya yang khusus (ar-Rahmah al
Khashshah).
Terbukti dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga
termasuk ulama salaf mentakwil firman Allah : [ رَبُّكَ ﴿ وَجَاءَ secara tafshili (terperinci), ia mengatakan :
yakni datang kekuasan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya) ". Sanad perkataan
imam Ahmad ini disahihkan oleh al Hafizh al Bayhaqi, seorang ahli hadits yang
menurut al Hafizh Shalahuddin al 'Ala-i : "Setelah al Bayhaqi dan ad-Daraquthni,
belum ada ahli hadits yang menyamai kapasitas keduanya atau mendekati kapasitas
keduanya ". Komentar al Bayhaqi terhadap sanad tersebut ada dalam kitabnya Manaqib Ahmad. Sedang komentar al Hafizh
Abu Sa'id al 'Ala-i mengenai al Bayhaqi dan ad-Daraquthni terdapat dalam bukunya al Wasyyu al Mu'lam. Al Hafizh Abu Sa'id
al 'Ala-i sendiri menurut al Hafizh Ibnu Hajar : "Dia adalah guru dari para guru
kami", beliau hidup pada abad VII Hijriyah.
Banyak di antara para
ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa imam Ahmad mentakwil
secara terperinci (tafshili), di
antaranya al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi yang merupakan salah seorang tokoh
besar madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau banyak mengetahui nash-nash (teks-teks induk) dalam
madzhab Hanbali dan keadaan imam Ahmad.
Abu Nashr al Qusyairi
juga telah menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang secara logis akan
didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah seorang
ulama yang digelari oleh al Hafizh 'Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari
para imam. Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu 'Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari.
Kedua : Metode Khalaf. Mereka mentakwil ayat-ayat
mutasyabihat secara terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan
penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami
ayat-ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan diikuti,
terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan orang awam
demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah yang memaki Iblis :
﴿ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ
بِيَدَيَّ ﴾ (سورة ص : 75)
Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn adalah al 'Inayah (perhatian khusus) dan al Hifzh (pemeliharaan dan
penjagaan).
------------------------
A. TAFSIR FIRMAN ALLAH
TA'ALA
﴿ الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
[
Ayat ini wajib
ditafsirkan dengan selain bersemayam, duduk dan semacamnya. Bahkan orang yang
meyakini demikian hukumnya kafir. Berarti ayat ini tidak boleh diambil secara
zhahirnya tetapi harus dipahami dengan makna yang tepat dan dapat diterima oleh
akal. Bisa dikatakan bahwa makna lafazh
istiwa' di sini adalah al Qahr, menundukkan dan
menguasai. Dalam bahasa Arab dikatakan :
اسْتَوَى فُلاَنٌ عَلَى الْمَمَالِكِ
Jika dia berhasil menguasai kerajaan, memegang kendali segala urusan dan
menundukkan orang, seperti dalam sebuah bait syair :
قَدْ اسْـتَوَى بِشْرٌ عَلَى الْعِرَاقِ مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَدَمٍ
مِهْرَاقِ
"Bisyr telah
menguasai Irak, tanpa senjata dan pertumpahan darah".
Sedangkan faedah
disebutkannya 'arsy secara khusus adalah bahwa 'arsy merupakan makhluk Allah
yang paling besar bentuk dan ukurannya. Ini berarti tentunya makhluk-makhluk
yang lebih kecil dari 'arsy termasuk di dalamnya. Imam Ali mengatakan :
"إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْعَرْشَ إِظْهَارًا
لِقُدْرَتِهِ وَلَمْ يَتَّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ"
“Sesungguhnya Allah
menciptakan ’arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk
menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi
Dzat-Nya”. Diriwayatkan oleh Abu Manshur
at-Tamimi, seorang imam serta pakar hadits, fiqh dan bahasa dalam kitabnya at-Tabshirah.
Ayat ini juga boleh ditafsirkan
bahwa "Allah memiliki sifat istiwa' yang diketahui oleh-Nya, disertai
keyakinan bahwa Allah maha suci dari istiwa'-nya makhluk yang
bermakna duduk, bersemayam dan semacamnya".
Ketahuilah bahwa harus diwaspadai orang-orang yang menyandangkan sifat
duduk dan bersemayam di atas 'arsy. Mereka menafsirkan firman Allah :
﴿ الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
[
Dengan duduk atau berada di atas 'arsy dengan jarak. Mereka juga
mengklaim bahwa tidak masuk akal adanya sesuatu tanpa tempat, ini adalah klaim yang bathil. Mereka
mengklaim juga bahwa perkataan ulama salaf : Istawa bila kayf sesuai dengan apa yang
mereka katakan. Mereka tidak mengerti bahwa kayf yang dinafikan oleh ulama salaf
adalah duduk, bersemayam, berada di suatu tempat, berada di atas sesuatu dengan
jarak dan semua sifat makhluk seperti bergerak, diam dan semacamnya.
Al Qusyairi berkata :
"argumen yang bisa mematahkan syubhah mereka adalah jika dikatakan : sebelum
Allah menciptakan alam atau tempat, apakah Allah ada atau tidak ?! akal yang
sehat akan menjawab : ya, Allah ada. Jika demikian halnya maka sekiranya
perkataan mereka " tidak masuk akal adanya sesuatu tanpa tempat" adalah benar, hanya ada dua pilihan :
pertama, mereka akan mengatakan bahwa tempat, 'arsy dan alam adalah qadim (tidak memiliki permulaan) atau
pilihan kedua, Tuhan itu baharu. Inilah ujung dari keyakinan golongan Hasyawiyyah yang bodoh itu, sungguh yang
Qadim (Allah) tidaklah baharu (muhdats) dan yang baharu tidaklah qadim".
Al Qusyairi juga
mengatakan dalam at-Tadzkirah
asy-Syarqiyyah : "Jika dikatakan : bukankah Allah berfirman [﴿ الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Maka harus diambil zhahir ayat ini. Kita menjawab : Allah juga berfirman
﴿وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا
كُنْتُمْ[ (سورة الحديد :4)
﴿ أَلاَ إِنَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ مُحِيْطٌ [
(سورة فصّلت :54)
Jika kaedahnya seperti yang anda katakan berarti harus diambil juga
zhahir kedua ayat ini dan itu berarti Allah berada di atas 'arsy, ada di antara
kita, ada bersama kita serta meliputi dan mengelilingi alam dengan Dzat-Nya
dalam saat yang sama. Padahal –kata al Qusyairi- dzat yang satu mustahil pada saat yang sama
berada di semua tempat. Kemudian –kata
al Qusyairi- jika mereka mengatakan : firman Allah ( وَهُوَ مَعَكُمْ ) yang dimaksud adalah dengan ilmu-Nya, dan firman Allah ( بِكُلِّ شَىْءٍ مُحِيْطٌ )
maksudnya ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Maka kita katakan : jika demikian, maka ( عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ) berarti qahara, hafizha dan abqa (menundukkan dan menguasai,
memelihara dan menetapkannya)". Maksud al Qusyairi adalah jika mereka di sini
mentakwil ayat-ayat Mutasyabihat semacam ini dan tidak memaknainya secara
zhahirnya, lalu mengapa mereka mencela
orang yang mentakwil ayat istiwa' dengan qahr, Ini adalah bukti bahwa mereka
telah berpendapat tanpa disertai dengan dalil.
Selanjutnya,
Al Qusyairi mengatakan : "Seandainya perkataan kami bahwa istawa berarti qahara memberi persangkaan bahwa telah terjadi pertarungan dan awalnya Allah dikalahkan
lalu pada akhirnya menundukkan dan mengalahkan lawan-Nya niscaya hal yang sama
muncul dari persangkaan terhadap ayat
(سورة الأنعام : 18) ( وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ)
Sehingga akan dikatakan : Allah sebelum menciptakan hamba-Nya maqhur (dikalahkan), bukankah hamba
seluruhnya tidak ada sebelum Allah menciptakan mereka. Justru sebaliknya (lebih
parah) jika istiwa' tersebut adalah
dengan dzat-Nya akan memberi persangkaan bahwa Allah berubah dari keadaan
sebelumnya, yaitu bengkok sebelum istiwa'
karena Allah ada sebelum 'arsy diciptakan. Orang yang obyektif akan mengetahui bahwa orang yang mengatakan :
العرش بالربّ استوى
"'Arsy sempurna adanya dengan
pengadaan-Nya"
Lebih tepat dari perkataan :
الربّ بالعرش استوى
Jadi Allah disifati dengan ketinggian derajat dan keagungan, maha suci
dari berada di suatu tempat dan berada di atas sesuatu dengan jarak.
Al Qusyairi berkata :
"Telah muncul sekelompok orang bodoh, yang seandainya mereka tidak mendekati
orang awam dengan keyakinan rusak seiring daya nalar mereka dan terbayangkan
oleh benak mereka aku tidak akan mengotori lembaran-lembaran buku ini dengan
menyebut mereka. Mereka mengatakan : Kita memahami ayat dengan mengambil
zhahirnya, ayat-ayat yang memberi persangkaan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya
atau memiliki bentuk dan ukuran serta anggota badan kita pahami secara
zhahirnya. Tidak boleh melakukan takwil terhadap ayat-ayat tersebut. Menurut
mereka, mereka berpegangan dengan firman Allah : ﴿ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ
اللهُ ﴾ . Demi Allah, mereka ini lebih berbahaya terhadap
Islam daripada orang-orang Yahudi, Nashrani, Majusi dan penyembah berhala.
Karena kesesatan orang-orang kafir ini jelas, diketahui dan dijauhi oleh semua
ummat Islam. Sedangkan orang-orang yang disebut pertama tadi berpenampilan
layaknya para ulama dan mengakses kepada orang awam dengan cara yang bisa
menarik orang awam agar mengikuti mereka sehingga mereka menyebarkan bid'ah tasybih ini dan menanamkan pada mereka
bahwa tuhan yang kita sembah ini memiliki anggota badan, mempunyai sifat naik,
turun, bersandar, terlentang, istiwa' dengan dzat-Nya dan datang-pergi
dari suatu tempat dan arah ke yang lain. Maka –lanjut al Qusyairi- barangsiapa
tertipu oleh penampilan luar mereka akan mempercayai mereka dan membayangkan
sesuatu yang dicerna dengan indra dan menyandang sifat-sifat makhluk diyakininya
sebagai Allah. Dengan keyakinan semacam ini ia telah jauh tersesat tanpa dia sadari".
Dari penjelasan di
atas diketahui bahwa perkataan orang bahwa takwil tidak boleh adalah kebodohan
dan ketidaktahuan terhadap yang benar. Perkataan ini terbantah dengan doa
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam untuk Ibnu Abbas :
" اَللّهُمَّ عَلِّمْهُ الْحِكْمَةَ
وَتَأْوِيْلَ الْكِتَابِ" رواه البخاريّ وابن ماجه وغيرهما بألفاظ متعدّدة
“Ya Allah, berilah ia pemahaman tentang agama dan ajarilah ia
penafsiran al-Qur'an” (H.R. al Bukhari, Ibnu Majah dan lainnya
dengan redaksi yang berbeda-beda)
Al Hafizh Ibn al Jawzi
dalam kitabnya Al Majalis berkata : "Tidak diragukan
lagi bahwa Allah mengabulkan doa Rasulullah ini". Kemudian beliau mengingkari
dengan sangat dan mencela dengan pedas orang yang menolak takwil dan menguraikan
dengan panjang lebar hal ini. Bagi yang tertarik silahkan
membacanya.
Sedangkan firman
Allah
(سورة النحل : 50) ﴿ يَخَافُوْنَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ
﴾ maknanya di
atas mereka dengan kekuasaan-Nya, bukan dengan tempat dan arah, yakni bukan di
atas mereka dari segi tempat dan arah. Firman Allah ((سورة الفجر : 22 ﴿ وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا
صَفًّا ﴾ datang yang dinisbatkan kepada Allah ini maknanya
bukan datang dengan bergerak, berpindah, mengosongkan suatu tempat dan mengisi
tempat yang lain dan kafir hukumnya orang yang meyakini semacam ini bagi Allah.
Karena Allah ta'ala yang menciptakan sifat bergerak, diam dan semua sifat
makhluk, maka Allah tidak disifati dengan bergerak dan diam. Jadi yang dimaksud
dengan ﴿ وَجَاءَ رَبُّكَ ﴾ adalah datang sesuatu dari Tuhanmu, yakni salah
satu tanda kekuasaan-Nya. Inilah takwil yang dikemukakan oleh Imam Ahmad.
Diriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa beliau berkata tentang ayat
tersebut ﴿ وَجَاءَ رَبُّكَ ﴾ : yang datang adalah (tanda) kekuasaan-Nya. Takwil
ini diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam Manaqib Ahmad seperti yang sudah pernah
disinggung.
B. TAFSIR FIRMAN ALLAH
TA'ALA
﴿ مِنْ رُوْحِنَا
﴾
﴿ مِنْ رُوْحِـيْ ﴾
Hendaklah diketahui bahwa Allah subhanahu wata'ala adalah
pencipta roh dan jasad, berarti Ia bukan roh dan bukan jasad. Maka ketika Allah
menisbatkan roh Isa kepada dzat-Nya, yang dimaksud adalah Allah memiliki roh
Nabi Isa dan memuliakannya. Ini sama sekali tidak berarti bahwa Nabi Isa adalah
bagian dari dzat-Nya (al Juz-iyyah). Hal ini terdapat dalam firman Allah
: (سورة الأنبياء : 91)
﴿ مِنْ رُوْحِنَا ﴾ . Dengan makna yang sama Allah berfirman tentang Nabi Adam
alayhissalam :
(سورة ص : 72) ﴿ مِنْ رُوْحِـيْ ﴾ .
Jadi makna firman Allah :
﴿ فَنَفَخْنَا فِيْهِ مِنْ رُوْحِنَا
﴾ (سورة التحريم : 12) adalah :
"kami memerintahkan pada Jibril
alayhissalam untuk
meniupkan ke dalam Maryam roh yang merupakan milik kami dan mulia menurut kami".
Karena roh itu terbagi menjadi dua : roh yang dimuliakan dan roh yang jahat. Roh
para nabi termasuk dalam kategori pertama. Karenanya penyandaran
(idlafah) roh nabi Isa dan roh nabi Adam kepada Allah adalah penyandaran
yang berarti kepemilikan dan pemuliaan Allah terhadap keduanya. Hukum orang yang
meyakini bahwa Allah ta'ala adalah roh adalah dikafirkan karena roh adalah
makhluk dan Allah maha suci dari menyerupai makhluk.
Begitu pula firman
Allah mengenai ka'bah :
(سورة الحجّ : 26)
﴿ بَيْـتِيَ ﴾ , ini juga penyandaran (idlafah) yang
berarti kepemilikan dan pemuliaan Allah terhadap ka'bah, bukan menunjukkan bahwa
bayt adalah sifat Allah atau tempat bagi Allah karena persinggungan dan
bersentuhan antara Allah dan ka'bah adalah mustahil
bagi-Nya.
Demikian juga firman
Allah : (سورة المؤمنون : 116)
﴿ رَبُّ العَرْشِ ﴾ hanyalah menunjukkan bahwa Allah pencipta 'arsy,
makhluk Allah yang terbesar ukurannya. Penyandaran ini tidak berarti ada kaitan
antara Allah dengan 'arsy bahwa Allah duduk di atasnya atau berada di atasnya
dengan jarak. Jadi maknanya bukan bahwa Allah duduk di atas 'arsy dengan
menempel, juga bukan berarti Allah berada di atasnya dengan berjarak ruang
kosong yang luas atau sempit. Ini semua mustahil bagi Allah. 'Arsy disandarkan
kepada Allah karena beberapa keistimewaannya. Di antaranya bahwa 'arsy adalah
kiblat para malaikat yang mengelilinginya sebagaimana ka'bah menjadi mulia
karena orang-orang mukmin berthawaf mengelilinginya. Di antara keistimewaan
'arsy pula bahwa 'arsy tidak pernah dikotori dengan perbuatan maksiat terhadap
Allah karena yang berada di sekelilingnya adalah para malaikat yang mulia, yang
tidak pernah berbuat maksiat terhadap Allah sekejappun. Jadi orang yang meyakini
bahwa Allah menciptakan 'arsy untuk Ia duduki telah menyerupakan Allah dengan
para raja yang membuat ranjang-ranjang besar untuk mereka duduki, dan yang
meyakini ini berarti dia belum mengenal Allah. Juga dihukumi kafir orang yang
meyakini Allah bersentuhan dengan sesuatu karena hal ini mustahil berlaku bagi
Allah.
C. TAFSIR AL
MA'IYYAH BAGI ALLAH TA'ALA
DI DALAM AL QUR'AN
Makna firman Allah :
) وهو معكم أين ما كنتم (
(سورة الحديد :4)
al ma'iyyah di sini berarti bahwa Allah ilmunya meliputi di manapun seseorang
berada. Kadang al ma'iyyah berarti juga pertolongan dan perlindungan
Allah seperti dalam ayat
﴿ إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا [ (سورة النحل :128)
Al ma'iyyah yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut bukanlah bahwa Allah menempati
makhluk-Nya atau menempel. Orang yang meyakini demikian hukumnya kafir karena
Allah ta'ala maha suci dari menempel dan berpisah dengan jarak. Karenanya, tidak
boleh dikatakan : Allah bersatu atau menempel dengan alam atau berpisah dari
alam dengan jarak. Sebab semua ini adalah sifat benda, benda yang bisa disifati
dengan menempel dan berpisah. Sedangkan Allah bukan sesuatu yang baharu
(makhluk) sebagaimana firman Allah
﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ
شَىءٌ ﴾ (سورة الشورى: ۱۱)
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari
satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang
menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)
Allah tidak disifati dengan memiliki bentuk dan ukuran besar atau kecil,
panjang atau pendek karena Dia berbeda dengan makhluk-Nya. Demikian pula setiap
pikiran atau bayangan yang menyandarkan bentuk dan ukuran kepada Allah harus
diusir dan dihilangkan dari benak. Jadi ketika kita mengucapkan : Allahu Akbar
maknanya adalah bahwa Allah lebih besar dari segi keagungan, derajat, kekuasaan
dan kemahatahuan bukan dari segi panjang dan keluasan bentuk dan ukuran. Ini
yang dimaksud oleh ulama salaf ketika menyikapi ayat-ayat mutasyabihat dengan
mengatakan :
"أَمِرُّوْهَا كَمَا جَاءَتْ بِلاَ
كَيْفِيَّةٍ".
"
Bacalah ayat-ayat tersebut sebagaimana bunyinya tanpa menyifati Allah
dengan sifat-sifat makhluk"
Jadi bukan maksudnya bahwa Allah memiliki kaifiyyat tetapi kita
tidak mengetahuinya. Dengan demikian tidaklah sesuai dengan ulama salaf orang
yang menyatakan berdasarkan pernyataan di atas bahwa istiwa'-nya Allah di
atas 'arsy adalah duduk tetapi tidak diketahui bagaimana bentuk duduk-Nya
tersebut.
Dahulu, orang-orang
Yahudi menyandangkan lelah kepada Allah. Mereka mengatakan : setelah menciptakan langit dan bumi Allah
beristirahat dan terlentang. Perkataan
mereka ini jelas kekufurannya. Allah maha suci dari ini semua. Ia juga maha suci dari infi'al seperti merasakan kelelahan, sakit
dan merasa enak. Karena yang mengalami keadaan-keadaan semacam ini pastilah
makhluk yang selalu mengalami perubahan dan ini mustahil bagi Allah.
Allah ta'ala berfirman :
﴿ وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ
وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوْبٍ ﴾ (سورة ق :
38)
Maknanya : "Kami (Allah) menciptakan langit dan bumi dan yang berada
di antara keduanya, dan tidaklah sekali-kali kami mengalami kelelahan" (Q.S.
Qaf: 38)
Yang akan merasa kelelahan adalah orang yang melakukan perbuatannya
dengan anggota badan, sedangkan Allah maha suci dari memiliki anggota
badan.
Allah ta'ala berfirman
:
﴿ إِنَّ اللهَ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ﴾
(سورة غافر : 20)
Maknanya : "Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat"
(Q.S. Ghafir : 20)
Allah ta'ala mendengar dan melihat bukan seperti melihat dan
mendengarnya makhluk. Jadi mendengar dan melihatnya Allah ada dua sifat-Nya yang
azali yang bukan merupakan anggota badan, artinya bukan dengan telinga atau
kelopak mata, kategori dekat , jauh atau berhubungan dengan arah, tanpa
munculnya cahaya dari mata atau berhembusnya udara.
Barang siapa
mengatakan Allah memiliki telinga maka ia telah kafir, meskipun dia
mengatakan Allah memiliki telinga tetapi tidak seperti telinga kita. Ini berbeda dengan orang yang
mengatakan : Allah memiliki 'ayn tetapi tidak seperti mata kita, yad
tidak seperti tangan kita, melainkan sebagai sifat-Nya. Yang terakhir ini
boleh dikatakan karena lafazh 'ayn dan yad memang terdapat dalam
al Qur'an sedangkan lafazh udzun (telinga) tidak pernah disandangkan bagi
Allah dalam teks agama.
D. TAFSIR FIRMAN ALLAH
TA'ALA
﴿ فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ [
Allah ta'ala berfirman :
﴿ وَِللهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا
تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ [
(سورة البقرة : 115)
Makna ayat ini adalah bahwa kemanapun kalian menghadapkan muka kalian
pada shalat sunnah di perjalanan maka di sanalah kiblat Allah. Yakni Arah yang
kalian menghadapkan muka kepadanya adalah kiblat kalian. Maksud wajh di
sini bukanlah anggota badan muka.
Orang yang meyakini
bahwa Allah memiliki anggota badan jelas dikafirkan. Karena seandainya Allah
mempunyai anggota badan berarti dia serupa dengan kita, bisa berlaku bagi-Nya
hal yang berlaku bagi kita seperti fana' (kepunahan dan
kebinasaan).
Terkadang maksud dari
wajh adalah melaksanakan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Sebagai contoh ketika orang mengatakan : saya melakukan perbuatan ini karena
wajh Allah, maka maksudnya adalah
bahwa aku melakukannya karena melaksanakan perintah Allah.
Haram hukumnya
mengatakan seperti orang-orang bodoh katakan : "Bukalah jendela itu supaya kita
dapat melihat muka Allah". Ini dikarenakan Allah ta'ala berfirman kepada nabi
Musa 'alayhissalam :
﴿ لَنْ تَرَانِـيْ [ (سورة الأعراف : 143)
Maknanya : "Engkau tidak akan pernah melihat-Ku (dengan mata di dunia
ini)" (Q.S. al A'raf :
143)
Meskipun maksud orang yang mengatakan perkataan tersebut bukan melihat
Allah tetap dihukumi haram mengatakannya.
E. TAFSIR FIRMAN ALLAH
TA'ALA
﴿ اللهُ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ [
Firman Allah : (سورة النور : 35)
( اللهُ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
) maknanya adalah bahwa Allah ta'ala Pemberi petunjuk langit dan bumi
kepada cahaya keimanan. Penafsiran ini diriwayatkan oleh al Bayhaqi dari
Abdullah ibn 'Abbas. Jadi Allah bukanlah Nur dalam arti cahaya karena Ia
yang menciptakan cahaya. Allah ta'ala berfirman :
)وَجَعَلَ الظلمات والنور (
(سورة الأنعام : 1)
Maknanya : "dan Ia menciptakan kegelapan dan cahaya" (Q.S. al An'am : 1)
Jadi Allah yang menciptakan kegelapan dan cahaya, bagaimana mungkin ia
adalah cahaya seperti halnya makhluk-Nya ?!, maha suci Allah dari hal
ini.
Hukum orang yang
meyakini bahwa Allah adalah cahaya adalah dikafirkan. Ayat pertama surat al
An'am tersebut yang berbunyi :
) اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَجَعَلَ
الظُّلُمَاتِ وَالنُّوْرَ( (سورة الأنعام : 1)
adalah dalil paling jelas yang menegaskan bahwa Allah bukan jism
(sesuatu yang memiliki bentuk dan ukuran) katsif (yang bisa dipegang
dengan tangan) seperti langit dan bumi dan bukan jism lathif (yang tidak bisa dipegang dengan
tangan) seperti kegelapan dan cahaya. Maka barang siapa meyakini bahwa Allah
adalah benda katsif atau lathif berarti ia telah menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya. Ayat ini adalah dalil yang menunjukkan kepada hal itu.
Kebanyakan kalangan Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya) meyakini bahwa Allah adalah benda katsif . Sebagian dari
mereka meyakini bahwa Allah adalah benda lathif seperti perkataan mereka
bahwa Allah adalah cahaya yang gemerlapan. Ayat ini saja cukup sebagai bantahan
terhadap kedua kelompok Musyabbihah tersebut.
Dan masih banyak lagi
keyakinan-keyakinan kufur yang lain seperti keyakinan sebagian orang bahwa Allah
ta'ala memiliki warna atau bentuk. Karenanya seseorang hendaklah menjauhi
keyakinan-keyakinan tersebut sekuat tenaga dan bagaimanapun
keadaannya.
No comments:
Post a Comment